Jumat, 30 April 2010

”KETIKA SHALAT TAHAJUT MENJADI SEBUAH KEBUTUHAN”

Dalam kehidupan yang serba fana ini, banyak ujian, cobaan, dan problematika yang dihadapi oleh umat manusia. Banyak diantara mereka yang mampu menghadapi dan mengatasi berbagai macam permasalahan tersebut. Mereka menghadapi dan memecahkan dengan penuh kesabaran dan ketenangan. Akan tetapi tidak sedikit pula yang menghadapinya dengan sikap dengan sikap emosional, tidak tenang, dan gegabah. Mereka tidak tahu apa yang mesti dilakukan. Mereka memecahkan-nya dengan pikiran panas dan hati yang tak menentu, hingga akhirnya membahayakan bagi diri sendiri dan orang lain.

Adakalanya ketika manusia ditimpa ujian dan cobaan yang ringan, mereka dapat mengatasinya dengan mudah. Akan tetapi ketika mereka ditimpa ujian dan cobaan yang agak berat, mereka pun menjadi gundah dan kalut. Mereka jadi resah dan tak terkendali. Disinilah kualitas keimanan seseorang mulai diuji, apakah ia mampu mengatasinya dengan baik hingga derajatnya menjadi bertambah, atau ia menjadi orang yang putus asa hingga tak ada sedikit pun nilai tambah pada dirinya. Kalau ternyata tidak mampu, berarti ia telah menjalani kehidupannya sebagai seorang yang gagal dan merugi.

Kita menyadari bahwa tak ada seorang pun dipermukaan bumi ini yang bebas lepas dari ujian dan cobaan. Semakin tinggi kualitas keimanan seseorang, semakin berat ujian dan cobaan yang diterimanya. Para Nabi dan Rasul adalah kelompok manusia yang paling berat mendapatkan ujian dan cobaan. Cobaan yang mereka hadapi terkadang cukup mengerikan, seperti ancaman pembunuhan, pengusiran, hinaan, serta caci maki dari kaumnya yang sungguh sangat menyakitkan hati.

Untuk menggambarkan tentang keras dan pedasnya cobaan yang dihadapi para Nabi, kita dapat merenungi beberapa firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut ini:

“Mereka menjawab, ’sesungguhnya kami bernasib malang karena kamu(Muhammad), sesungguhnya jika kamu tidak berhenti(mendakwahi kami), niscaya kami akan merajam kamu dan kamu pasti akan mendapatkan siksaan yang pedih dari kami’.” [Q.S. yasiin(36):18]

“Orang-orang kafir berkata kepada Rasul-rasul mereka, ‘Kami sungguh-sungguh akan mengusir kamu dari negeri kami atau kamu kembali kepada agama kami...’.” [Q.S. ibrahim(14):13]

Mereka berkata, “Hai Syu’aib, kami tidak banyak mengerti tentang yang kamu katakan itu dan sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu seorang yang lemah diantara kami; kalau tidaklah karena keluargamu tentulah kami telah merajam kamu, sedang kamu pun bukanlah seorang yang berwibawa di sisi kami’.” [Q.S huud(11):91]


Setiap orang, apapun profesi dan pekerjaannya, pasti menghadapi berbagai macam problematika. Semakin tinggi dan kompleks status dan jabatan seseorang, semakin banyak pula kendala-kendalayang dihadapinya. Semuanya membutuhkan suatu solusi yang tepat, agar tidak merugikan diri sendiri dan orang lain.

Sebagai manusia biasa, kita menyadari bahwa tidak semua solusi dapat memberikan jawaban yang memuaskan bagi diri kita. Bahkan terkadang kita menghadapi jalan buntu, tak tahu apa yang mesti dilakukan. Sementara orang lain tidak ada yang dapat memberikan pertolongan dan bantuan.

Orang lain, apakah sodara atau teman dekat terkadang merasa prihatin terhadap masalah yang sedang kita hadapi. Akan tetapi mereka hanya sekedar ikut prihatin. Tak lebih dari itu. Mereka tak bisa berbuat apa-apa, karena mereka sendiri pun menghadapi berbagai macam problematika yang menuntut solusi secepatnya.

Dalam kondisi seperti inilah, seorang muslim yang menyadari akan adanya kekuatan lain diluar dirinya, hendaknya cepat-cepat merespon kekuatan tersebut, yaitu kekuatan dari Zat Yang Maha Kuasa, Allah swt. Caranya yaitu dengan mengintensifikasikan hubungan ubudiyah yang mungkin selama ini masih renggang. Salah satu usaha yang dilakukan untuk menjalin intensitas hubungan dengan-Nya, yaitu dengan melakukan qiyamul lail atau mendirikan shalat tahajut.

Dalam kaitannya dengan hal ini, sudah sepatutnya kita meneladani sikap dan perilaku Nabi yang mulia, Muhammad Rasulullah saw. Dalam menjalankan aktifitas dakwahnya, Rasulullah saw banyak menghadapi maasalah yang sangat berat, seperti pebghinaan, caci maki, pengusiran, gangguan fisik, dan percobaan pembunuhan. Gangguan-gangguan tersebut sudah melebihi kapasitas kekuatan beliau untuk menangkalnya. Untuk itulah Allah saw memberikan arahan kepada beliau untuk lebih meng-intenifkan diri dalam berhubungan dengan Rabb-Nya. Caranya yaitu dengan melakukan qiyamul lail atau mengerjakan shalat tahajut.

Allah saw. Berfirman; “Hai orang yang berselimut(Muhammad), bangunlah(untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit(daripadanya), (yaitu) seperduanyaatau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya Kami akan menurunkan keadamu perkataan yang berat.” [Q.S. Al-Muzammil(73):1-5]

Dengan adanya hubungan yang terus-menerus dan intensif melalui shalat tahajut, maka segala problematika dakwah dapat beliau tanggulangi, hingga dalam kurun waktu tidak terlalu lama beliau berhasil manggapai kesuksesan yang gilang-menggilang.

Pantaslah bila seorang penulis non muslim bernama Michael hart, dalam bukunya The a Ranking of the Most Influential Persons in History, menempatka Nabi Muhammad saw pada urutan no.1 di atas para tokoh lainnya di jagat raya ini.

Sebagai seorang pengemban risalah dakwah yang sungguh berat, beliau senantiasa menjalin hubungan secara intensif dan terus-menerus dengan Rabb-nya. Salah satu pendekatan yang beliau lakukan adalah dengan mendirikan shalat tahajut. Oleh sebab itu, selaku umat yang setia, kita mesti mencontoh aktifitas beliau tersebut. Karena bagi seorang muslim, shalat tahajut bukan sekedar amaliah sunnah di malam hari, tetapi sudah menjadi kebutuhan mendasar dalam upaya manggapai kesuksesan yang besar dan fenomenal dalam hidupnya.


“PENGERTIAN SHALAT TAHAJUT”


Sebelum membahas lebih jauh tentang shalat tahajut, perlu diketahui terlebih dahulu tentang pengertian dan hakikat shalat tahajut. Didalam kitab Lisan Al-‘Arab, dijelaskan tentang kata dasar dari istilah tahajut yang berasal dari kata dasar hajada, yang berarti ia melakukan shalat malam. Sedangkan pengertian mutahajjid yaitu orang yang bangun dari tidurnya untuk mendirikan shalat.

Sementara itu, Imam Syafi’i berkata, “Shalat malam, baik sebelum tidur maupun sesudahnya dan shalat witir disebut Shalat Tahajud.” Ibnu Faris berkata, “mutahajjid adalah orang yang mengerjakan shalat dimalam hari.”

Adapun menurut pengertian hukum syar’i, shalat tahajud adalah shalat sunnah yang dikerjakan pada malam hari, yaitu mulai setelah shalat Isya hingga terbit fajar. Shalat tahajud dapat dikerjakan pada permulaan, pertengahan, atau penghabisan malam, dengan syarat sesudah mengerjakan shalat Isya. Adapun hukum shalat tahajut adalah sunnah maukkad berdasarkan dalil Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma’ulama.

Shalat tahajut itu berkaitan erat dengan shalat witir. Secara lughawi(bahasa), witir berarti ganjil. Ali bin Abi Thalib Radiyallahu Anhu pernah berkata, “Witir itu sebenarnya bukan shalat fardu yang lima waktu. Hanya saja Rasulullah pernah berkata, ‘Allah itu witir(Maha Esa) dan suka sekali kepada yang witir(ganjil).’ Oleh karena itu kerjakanlah shalat witir itu, wahai Ahlul Qur’an!”

Shalat witir merupakan nama atau sebutan bagi shalat yang rakaatnya ganjil(selain shalat fardhu Maghrib), yaitu satu rakaat, tiga rakaat, lima rakaat, tujuh rakaat, sembilan rakaat atau sebelas rakaat yang bersambung-sambung.

Disebutkan juga bahwa, “Ahalat witir ini merupan shalat penutup bagi shalat malam.”

“WAKTU UNTUK MENGERJAKAN SHALAT TAHAJUT”

Shalat tahajut boleh dilakukan di awal, tengah, atau di akhir malam dengan syarat sesudah tidur terlebih dahulu. Ketiga bagian waktu tersebut telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. Akan tetapi waktu yang lebih utama yaitu sepertiga malam yang terakhir.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radiyallahu Anhu, bahwa Nabi saw bersabda, “Tuhan kita turun pada setiap malam ke langit dunia, ketika tersisa sepertiga malam yang terakhir, lalu berfirman, “Siapa yang berdoa kepada-Ku, maka Aku akan kabulkan baginya. Siapa yang memohon pada-Ku, maka Aku berikan padanya. Siapa yang meminta ampunan kepada-Ku, maka Aku ampuni baginya.” (Muttafaq ‘Alaih)

Abdullah bin Abasah meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw bersabda, “sedekat-dekatnya Rabb dengan hamba yaitu pada waktu pertengahan malam yang akhir. Jika kamu sanggup menjadi orang yang mengingat Allah pada waktu itu, maka lakukanlah.” (H.R. Tirmidzi, abu daud, dan an-nasa’i)

Dalam hadist lain yang diriwayatkan odari Jabir Radiyallahu Anhu, dia berkata, “Saya pernah mendengar Rasulullah saw bersabda, ‘sesungguhnya di malam hari ada satu waktu yang tidaklah seorang hamba menepati waktu tersebut dalam keadaan memohon kepada Allah suatu kebajikan dari perkara dunia dan akhirat, melainkan Allah pasti memberikan permintaannya, dan itu berlangsung setiap malam.” (H.R. Muslim)

Aisyah Radiyallahu Anha pernah ditanya, “Apakah amalan yang paling dicintai oleh Rasulullah saw?” Maka dia menjawab, “Yang dikerjakan terus-menerus.” Aku(perawi) bertanya, “Kapan beliau mengerjakannya?” Dia menjawab, “Beliau mengerjakannya apabila telah mendengar bunyi ayam berkokok(sepertiga malam yang terakhir)’.” (Muttafaq’Alaih)

Abu Muslim pernah bertanya kapada Abu Dzar, “Kapankah waktu qiyamul lail yang paling utama itu?” Ia menjawab, “Saya pernah bertanya kepada Rasulullah saw seperti yang enngkau tanyakan itu. Beliau menjawab, “Pertengahan malam yang terakhir, namun sedikit orang yang mengerjakannya.” (H.R. Ahmad dengan sanad yang baik)

Abdullah bin Umar menceritakan sabda Rasulullah saw, “Puasa sunnah yang paling disukai ialah puasa Nabi Daud, shalat yang paling disukai ialah shalat Nabi Daud. Dia tidur setengah malam, shalat malam pada sepertiga, tidur seperanamnya, berpuasa satu hari dan berbuka satu hari.” (H.R. Jama’ah, kecuali Tirmidzi)


“RAHASIA DIKABULKANNYA DOA DI SEPERTIGA MALAM YANG TERAKHIR”Rata Tengah


Kita kadang sering bertanya-tanya, apa rahasia dikabulkannya doa di saat sepertiga malam yang terakhir? Kalau kita merujuk kepada dalil-dalil berdasarkan hadist Nabi saw, maka akan kita dapati keterangan-keterangan nash yang men-jelaskan tentang dikabulkannya doa di saat sepertiga malam yang terakhir. Berikut ini kami kutip keterangan-keterangan tersebut yang berasal dari kitab fenomenal Al-Adzkar, buah karya Imam Nawawi Rahimatullah;

Diriwayatkan di dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim melalui Abu Hurairah Radiyallah Anhu yang menceritakan bahwa Rasulullah saw pernah bersabda,

“Rabb kami(rahmat-Nya) turun kelangit dunia pada tiap malam, yaitu ketika masih tersisa dari malam hari sepertiga terakhirnya, lalu Dia berfirman, ‘Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku, maka Aku memperkenankan bagi-Nya; barangsiapa yang meminta kepada-Ku, maka Aku memberinya; barangsiapa yang meminta ampun kepada-Ku, maka Aku mengampini-Nya’.”

Didalam riwayat Imam Muslim disebutkan sebagai berikut,

“Allah subhanahu wa Ta’ala turun kelangit dunia setiap malam, yaitu ketika berlalu sepertiga pertama dari malam hari, lalu ia berfirman, ‘Aku adalah Raja, Aku adalah Raja; Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku, maka Aku mengabulkan baginya; barangsiapa yang meminta kepada-Ku, maka Aku memberinya; barangsiapa yang meminta ampun kepada-Ku, maka Aku mengampini-Nya’. Demikianlah hal tersebut terjadi terus menerus hingga fajar mulai terang.”

Seperti yang disebutkan diatas, memberikan suatu gambaran, bahwa Allah subhanahu wa Ta’ala menurunkan Rahmat-Nya di saat sepertiga malam terakhir. Bagi orang yang menjalankan aktifitas ibaadah dengan mendirikan shalat tahajut, berzikir, membaca Al-Qur’an, dan ibadah-ibadah lainnya, kemudian dia berdoa tentang urusan dunia dan akhirat, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala pasti mengabulkan doanya.

Di bumi-Nya yang terbentang luas ini, terdapat tempat-tempat khusus dan istimewa, seperti Baitullah di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah. Tempat-tempat tersebut merupakan lahan yang subur untuk mendulang pahala sebanyak-banyaknya. Allah subhanahu wa Ta’ala memberikan pahala beratus-ratus kali lipat bagi orang yang beribadah ditempat tersebut.

Begitu juga dengan keberadaan beberapa waktu yang memiliki keistimewaan tersendiri dalam pandangan Allah subhanahu wa Ta’ala. Contohnya waktu shalat fardhu, bulan suci Ramadhan, lailatul qadar, dan waktu penghujung malam di saat sepertiga malam terakhir. Pada saat itulah seorang hamba dapat mendulang pahala berlipat-lipat ganda. Pada saat itu pula segala doa dan permohonan hamba, cepat dikabulkan dan diberikan oleh-Nya.

Secara Aqliyah(logika), fenomena tersebut dapat kita analogkan dengan tempat dan waktu dalam kehidupan kita sehari-hari. Contohnya ketika kita hendak memancing ikan, tentunya kita akan pergi ke sungai atau kolam yang banyak ikannya. Ini maasala pilihan tempat. Kalau kita memancing, sementara ikan belum juga dapat, mungkin salah satu penyebabnya dikarenakan kita memancing ditempat yang tidak tepat. Dengan kata lain kita memancing disungai atau kolam yang tidak ada ikannya. Berarti ada masalah ketidak tepatan tempat yang menjadi kendala.

Sebaliknya, bagi pemancing lain, dia dapat membawa pulang ikan-ikan besar dengan jumlah yang sangat banyak. Setelah diselidiki, ternyata ia memancing di empang atau kolam pemancingan yang memang banyak ikannya. Kail baru dilempar umpannya sudah menjadi rebutan ikan-ikan besar. Begitu seharusnya, sampai-sampai pemancing menjadikerepotan dan kewalahan dibuatnya. Dari gambaran ini, dapat dimengerti bahwa pemancing ini berada pada tempat yang tepat.

Begitu juga, pemancign ikan harus mengetahui waktu-waktu tertentu berkaitan dengan kebiasaan ikan saat mengisi perutnya. Sangat sulit bagi pemancing untuk mendapatkan ikan yang banyak bila ia memancing diluar jam makan ikan. Pemancing akan gagal memancing di saat ikan-ikan sudah kenyang semua. Kalau ada, mungkin hanya satu-dua ikan yang barangali terlambat makan. Dari sinilah faktor waktu sangat menentukan bagi keberhasilan seorang pemancing.

Demikianlah, secara logika sederhana, kita mesti memahami masalah waktu dan tempat berkaitan dengan aktifitas ibadah yang kita lakukan. Dalam masalah tempat, kita dilarang mengerjakan shalat ditempat kotor atau najis. Alangkah naifnya bagi seorang hamba yang mengerjakan shalat di kandang kuda atau di depan WC. Ini masalah pilihan tempat. Begitu juga seorang hamba dilarang mengerjakan shalat disaat matahari terbit. Seorang wanita dilarang berpuasa saat datang haid.

Shalat dan puasa merupakanibadah yang sangat mulia. Akan tetapi keduanya menjadi suatu amalan yang mengandung dosa dan mengakibatkan murka apabila dilakukan pada saat waktu dan tempat yang tidak tepat.

Barang siapa yang berjuang keras untuk berinteraksi dengan-Nya di saat-saat yang istimewa itu, dia akan mendapatkan keuntungan dan kesuksesan hidup, baik di dunia yang serba fana ini, maupun di negeri akhirat nan abadi.


SUMBER : BUKU "MENJEMPUT KESUKSESAN DENGAN TAHAJUD"

Penulis: Saefulloh M.Satori